Koran Jawa Pos yaitu koran yang termasuk dalam media yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Jawa Pos juga menjadi induk ratusan media lain. Baik koran lokal maupun media siber dan media televisi. Jawa Pos menjadi raksasa media karean jaringan koran dan televisinya hadir sampai ke kabupaten-kabupaten di Indonesia.
Koran Jawa Pos juga tidak lepas dari nama besar Dahlan Iskan, yang bisa membawa Jawa Pos bangun dari jurang kematiannya. Dahlan Iskan, sang Pak Bos yang ketat terhadap kualitas penulisan anak buahnya tersebut tak segan memarahi dan mengkritik para wartawan Jawa Pos kalau tulisannya kurang dalam dan kalimat serta pilihan katanya tidak efektif.
Koran Jawa Pos juga tidak lepas dari nama besar Dahlan Iskan, yang bisa membawa Jawa Pos bangun dari jurang kematiannya. Dahlan Iskan, sang Pak Bos yang ketat terhadap kualitas penulisan anak buahnya tersebut tak segan memarahi dan mengkritik para wartawan Jawa Pos kalau tulisannya kurang dalam dan kalimat serta pilihan katanya tidak efektif.
![]() |
Judul Berita Jawa Pos Bikin Bingung |
Dengan disiplin ketat berkaitan dengan kinerja dan kualitas goresan pena itulah, Jawa Pos menjadi raksasa media cetak. Hingga kini, di masa siber, Jawa Pos masih menadapatkan pembaca yang loyal. Jawa Pos berhasil menyuguhkan informasi yang belum diberitakan oleh media lain. Maka, informasi Jawa Pos selalu segar meski tak secepat informasi siber.
Beberapa penulis di Jawa Pos juga mengkritik goresan pena di media siber yang kacau balau. Yang sekenanya mengutip pernyataan narasumber, juga sekenanya menarasikan hasil wawancara narasumber.
Intinya, Jawa Pos masih menjaga kualitasnya. Menjaga kualitas goresan pena di tengah persaingan media yang semakin ketat.
Namun, ada saja informasi yang kurang lezat dibaca. Khususnya judulnya. Seperti Judul informasi yang ditulis di koran Jawa Pos hari ini, 7 Februari 2017 yang memberitakan kondisi 'Desa Wisata Trowulan'
Judul informasi yang mengangkat tidak maksimalnya Desa Wisata Trowulan di Mojokerta tersebut ditulis begini:
Wisatawan Hanya Bisa Membeli Pulsa di Kampung Itu
Judul informasi fitur yang ditulis di bab bawah halaman tersebut membingungkan. Ketika pertama kali membaca logika pemahaman yang muncul adalah, hanya di kampung itu wisatawan bisa membeli pulsa, di daerah lain tidak bisa.
Tetapi pemahaman itu salah. Karena yang dimaksud yaitu di Kampung Wisata Majapahit di Trowulan, Mojokerta tidak ada apa-apa. Yang ada hanya penjual kelontong alias peracangan dan penjual pulsa.
Entah penulisan judul ibarat itu menjadi jurus untuk menciptakan pembaca tertarik membaca atau bagaimana. Tetapi ini koran, bukan media siber yang menyediakan tautan klik semoga dibaca. Biasanya judul informasi koran sudah menggambarkan keseluruhan isi berita, bukan sekadar menciptakan ingin tau dengan kesalahan logika.
Setelah membaca keseluruhan isi informasi fitur tersebut gres diketahui bahwa, di Kampung Wisata Mojopahit belum ada apa-apa. Hanya deretan rumah dengan arsitektur masa Majapahit. Yang ada hanya arsitekturnya saja, acara warganya tetap ibarat semula. Sama dengan kebanyakan kampung lain di seluruh Indonesia. Banyak warganya yang jualan pulsa dan membuka toko kelontong.
Kalau pembingunan pembaca itu bukan merupakan kesengajaan dari penulisnya, judul informasi fitur tersebut bisa diubah semoga tidak membingungkan. Mungkin anjuran yang bisa dipakai yaitu perbaikan sebagai berikut:
Di Kampung itu, Wisatawan Hanya Bisa Membeli Pulsa
Jadi, lebih terang maknanya. Di kampung yang dikatakan kampung wisata, wisatawan hanya bisa membeli pulsa. Tidak bisa menikmati wisata lainnya. Tidak bisa menikmati keadaan sosial ekonimi yang seakan-akan kembali ke masa kejayaan Majapahit.
Bukankah selama ini Jawa Pos dan anak medianya telah menjadi patron pemberitaan di Indonesia?
Buat lebih berguna, kongsi: